Introduksi
Tatapannya nanar kala mendengar kabar itu, ia tak kuasa menyembunyikan gelisah di wajahnya, selayak raut muka seorang ayah ketika mendengar kabar buruk lalu terpaku menerawang masa depan anak-anaknya yang masih bocah dengan penuh khawatir. Nafasnya berat seakan dadanya penuh. Ia tak perlu lagi bertanya kedua kali untuk memastikan kebenaran berita dari kerabatnya yang baru saja tiba usai berladang, bahwa kebunnya akan digusur.
Sanusi, begitu ia disapa. Guru Sekolah Dasar ini, kemudian berjalan cepat menuju tambatan perahu dan melaju menyeberangi perairan teluk ke lokasi kebun. Caping yang ia kenakan menyembunyikan wajahnya. Ia tak bersuara sedikitpun, hanya langkah kaki dan bunyi parang beradu dengan sangkur yang menggantung di pinggangnya. Tombak yang biasa digunakan peladang hutan untuk berjaga, entah untuk apa di siang terik ini.
Melintasi jalur kebun warga yang tak landai sekira empat kilometer dari perkampungan, sesekali ia menghentikan langkah mencoba memastikan bunyi samar-samar di kejauhan ditingkahi suara alam. Ia bergegas seiring dengan semakin jelasnya sumber suara yang kini bising bergemuruh. Dan kala semak terakhir disibak, ia disergap cahaya mentari, di hadapannya satu unit ekskavator dan buldoser tengah meraung sejadinya menyingkirkan batang-batang kelapa, dahan-dahan pohon, tumbuh-tumbuhan agroforestri, umbi-umbian, serta tanaman-tanaman hortikultura yang baru kemarin ia petik, kini tercerabut tertimbun urukan tanah.
Tak satupun tumbuhan yang selamat di atas lahan setengah hektar miliknya. Hanya pekerja operator alat berat yang ia tuding dengan tombak dan ia “tikam” dengan kata-kata, “cari kerja atau cari mati!” Sejurus kemudian manajer lapangan, tetangganya yang direkrut sebagai humas perusahaan, satu polisi, dan dua orang berseragam loreng menyudutkannya.
Sanusi adalah potret orang desa di pulau-pulau kecil yang terbelit konflik tanah berkepanjangan kala dihadapkan dengan industri berbasis lahan skala korporat. Ia pernah dibui selama dua bulan bersama 12 warga Gane lainnya karena melakukan blokade trayek PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM), anak perusahaan Korindo Group.[1] Mereka dituduh merusak dan mencuri properti perusahaan meski kemudian putusan pengadilan bebas murni.[2]
Apa yang melatari ia dan sebagian penduduk di kampungnya, Desa Gane Dalam,[3] Halmahera Selatan, Maluku Utara, memblokir jalur angkutan kayu log perusahaan adalah hal sama yang menimpa para penyintas di seluruh penjuru daratan besar Indonesia dari ekspansi investasi berbasis lahan, land grabbing.
Ketika dibebaskan dari penjara dan kembali ke kampung, Sanusi dan kawan-kawanya dihadapkan pada situasi bentang perbukitan Teluk Gane berubah drastis. Vegetasi hutan alam dengan biodiversitas pada ketinggian yang relatif datar dan lereng berkurang signifikan hanya dalam jangka waktu dua bulan, masa yang mereka habiskan di balik jeruji besi.
Perasaan kehilangan akan peralihan yang begitu cepat dari satu ekosistem alami menjadi lingkungan buatan oleh Sanusi dan kerabatnya adalah soal ketergantungan mereka pada sumber daya hutan.
Secara khusus interaksi antara hutan dan laut dengan masyarakat desa di pesisir kepulauan kecil Maluku Utara demikian eratnya, sehingga setiap sektor produktif warga senantiasa bertumpu pada kedua sumber produksi tersebut.
Secara asas manfaat, investasi perkebunan monokultur skala masif hanya akan menguntungkan investor dibanding masyarakat yang hanya akan menanggung dampaknya. Keuntungan itu pun tidak sebanding dengan kerugian dari perubahan bentang alam pulau kecil dan hilangnya beragam varietas tumbuhan alami yang dijadikan bahan baku serta menyusutnya sumber air. Hal ini bisa diuji dalam studi komparasi.
Rekam Jejak Korindo di Gane
Secara garis besar pengelolaan tanah di negeri ini dibagi menjadi dua status, kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Kuasa izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan biasa dikenal dengan adanya IUPHHK, HTI, dan juga pertambangan. Sedangkan di luar itu dikenal dengan Hak Guna Usaha (HGU). Salah satu bentuk HGU yang saat ini merajarela di “Republik Kapling” ini adalah perkebunan kelapa sawit yang digadang-gadang sebagai penghasil devisa terbesar.
Atas nama “pertumbuhan ekonomi” itulah, pemerintah tengah memfasilitasi akuisisi lahan untuk kepentingan ekspansi industri perkebunan monokultur skala besar dengan memberikan izin pemanfaatan dalam kawasan hutan, nyaris pada semua wilayah, termasuk di daerah kepulauan terkecil sekalipun, serupa di kaki Halmahera bagian selatan.
Meskipun faktanya, ekses lanjutan yang telah menjadi bagian integral dari investasi berbasis lahan skala besar di lapangan seperti konflik tata batas dalam konteks komodifikasi tanah, laju kerusakan hutan hujan tropis, pencemaran lingkungan, penyusutan lahan-lahan produktif pertanian rakyat, pelanggaran HAM, sulit sekali mendapat perhatian serius dari negara. Besar kemungkinan hal-hal tersebut dilihat sebagai ongkos yang dapat diterima demi pengembangan sumber daya energi.
Selama delapan tahun beroperasi sejak 2011, PT. GMM telah berhasil menghancurkan lanskap hutan primer di Teluk Gane. Tidak mempertimbangkan tata kelola produktivitas masyarakat setempat yang bergantung pada hutan alam. Mempersempit aksesibilitas warga Gane terhadap hutan dan lahan subsisten. Sumber air seperti sempadan sungai pun ditimbun untuk pembuatan sarana-sarana penunjang seperti trayek logging. Selain itu menggunakan api sebagai akselerasi pengembangan lahan yang kemudian merembet menghanguskan semak juga tanaman pangan. Dan semua ini bermula dari tidak adanya konsultasi publik–penataan batas (landscaping) sebagaimana mestinya.
Rezim perizinan di negara ini juga adalah struktur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan laju degradasi lingkungan dan deforestasi. Hal yang begitu kontradiktif dengan retorika pemerintah soal dukungan dalam isu pencegahan perubahan iklim dan pengendalian tingkat emisi gas rumah kaca (GRK). Reformasi rezim perizinan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup dan sosial masyarakat, jika orientasinya masih berkutat seputar (demi) efisiensi proses bisnis dan “instalasi komersial.”
Jika dilihat dari aspek perizinannya, terdapat dua fase pemberian izin PT. GMM, yaitu lisensi pertama pada 2006-2013 dan kedua pada 2015-2016.
Rintisan usaha perkebunan sawit perusahaan tersebut telah dimulai sejak 2009 dengan dikantonginya Izin Pelepasan Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 11.003,9 Ha.[5] Diikuti dengan diterbitkannya Izin Lokasi seluas 6.464.32 Ha pada dua lokasi, Blok Tanjung Rotan, dan Blok Tawa-Pasipalele yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Gane Barat Selatan.[6]
Dua lokasi tersebut ditetapkan negara termasuk dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK).[7] Diklaim Korindo tidak termasuk dalam “Zona Moratorium,” atau bukan bagian dari area yang “ditunda perizinan barunya.”[8] Karena itu perusahaan tersebut bersikukuh untuk meneruskan perluasan akuisisi lahan hingga berlanjut pada pengajuan permohonan HGU sekalipun lahan yang dialokasikan tersebut tidak berstatus clean and clear. Sebagaimana diakui sendiri oleh PT. GMM/Korindo bahwa seluruh wilayah seluas 11 ribu lebih hektar yang dimohon untuk perkebunannya masih dibebani klaim kepemilikan masyarakat.[9]
Dalam proyeksinya, perluasan area perkebunan monokultur ini akan mencapai sekira 12.000 hektar yag terbagi atas kebun inti seluas 10.000 hektar, dan kebun plasma sekitar 2000 hektar. Sebagian tentunnya akan dialokasikan untuk pendirian pabrik pengolahan berkapasitas 2 x 30 ton TBS/ Jam yang direncanakan mulai beroperasi pada 2017[10] silam, namun terkendala karena mendapat perlawanan terus-menerus dari sebagian masyarakat Gane dengan tuntutan menolak seluruh usaha proyek dan keberadaan korporasi tersebut.
Hingga 2016, sekira 5000 hektar telah berhasil dirombak dan mulai dilakukan penanaman bibit sawit.[11] Hal ini dilalui dengan proses yang secara prosedural cacat hukum, baik dalam aspek lingkungan, kehutanan, maupun pertanahan, termasuk berbagai pelanggaran HAM pada semua tahap operasinya.
Pada fase pra konstruksi seperti sosialisasi rencana usaha, penataan batas serta pembebasan klaim masyarakat, usaha tersebut tidak berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku dan ditolak oleh sebagian warga di sembilan desa terdampak. Bukan sekadar soal nominal ganti rugi–perusahaan menawarkan harga lahan beserta tumbuhan di dalamnya yang cenderung memberatkan pemiliknya, namun juga karena informasi proyek tidak disampaikan secara layak. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban hukum usahanya. Hal ini merupakan awal situasi yang membuat warga mulai berseteru di antara sesamanya. Puncaknya adalah sentimen pro kontra antar warga yang berlangsung hingga saat ini.
Tidak adanya proses konsultasi menyeluruh dalam hal permintaan persetujuan masyarakat sekitar konsesi (free prior and informed consent)[12] dinilai sebagai sebuah tindakan perusahaan untuk memanfaatkan situasi masyarakat yang kekurangan informasi atas proyek.
Sebagaimana temuan dari hasil Investigasi Forest Stewardship Council (FSC) yang menyimpulkan, Korindo telah mengonversi hutan dalam membangun kebun sawit di Indonesia, mengarah pada penghancuran nilai konservasi tinggi, dan tak mematuhi prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC).[13]
Walaupun status pembebasan lahan tidak mencapai 50%, namun Pemerintah Daerah tetap menyetujui permohonan izin prinsip (yang dilayangkan PT.GMM saat terkendala di lapangan). Hingga belitan konflik tenurial semakin mengancam orang Gane dan terus meluas seiring dengan laju land clearing untuk area persemaian bibit sawit.
Tidak beresnya tata batas ini kemudian diperparah dengan praktik gusur paksa yang disandarkan pada Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) beserta dokumen-dokumen pendukung lainnya. Yah, satu hal yang lazim dilakukan industri agrobisnis besar dengan melakukan penebangan dan perdagangan kayu secara masif sekalipun core bisnisnya perkebunan.[14]
No | IPK | Tanggal Terbit | Luas/Ha |
1 | Izin IPK KEP-522.1/63.A/2011 | 04 Maret 2011 | 5.000 (tahap I) |
2 | Izin IPK KEP-522.1/610/2013 | 22 Agustus 2013 | 5.150 (tahap II) |
3 | Izin IPK No. 522.1/Kpts/24/2015 | 14 Januari 2015 | 771,16 (Tahap III) |
4 | Izin IPK No. 522.1/Kpts/62/2015 | 19 Mei 2015 | 3.606 (Tahap IV) |
Total | 4 Tahun | 14.527,16 | |
Luas HPK yang dibebaskan untuk pencadangan perkebunan sawit | – | 10.100 | |
– | 4.427,16 |
Dengan pemanfaatan hasil hutan dalam konsesi tersebutlah GMM/Korindo berhasil menjawab dua kebutuhan proyeknya dalam satu sapuan, yaitu dengan melakukan aktivitas pembalakan yang berada di dalam area kebun masyarakat yang secara otomatis ikut menggerus tanaman lainnya di situ hingga rusak dan tercerabut.
Blok Tawa dan Pasipalele dikabarkan memang padat dengan pohon jenis merbau dan meranti, satu-satunya alasan perusahaan mengawali proses penebangan di lokasi tersebut untuk memasok pabrik kayu lapis miliknya.
Korindo menyatakan bahwa mereka “tidak menggunakan kayu yang ilegal” dan menunjukkan ‘sertifikat legalitas’ yang diperoleh berdasarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).[15] Akan tetapi, karena operasi Korindo di Gane ternyata didasari izin yang diterbitkan dengan melanggar peraturan perundang-undangan, maka kayu yang diambil harus dianggap telah ditebang secara ilegal pula.
Laporan Korindo kepada Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa Gane merupakan pemasok kayu utama bagi pabrik kayu lapisnya di Kalimantan Timur. Pada 2016, PT Ariabima Sari diperkirakan memasok 20.000 meter kubik kayu dari PT GMM sebagai pemasok kayu kedua terbesar bagi pabrik tersebut. Pada tahun yang sama, Korindo mencatat bahwa PT Balikpapan Forest Industries menggunakan 3.543 kayu bulat darinya.[16]
Secara insidensial hal yang sering memicu bersitegangnya peladang dengan operator penebang dikarenakan selain pemancangan patok, aktivitas penebangan turut merusak tanaman pangan dari berbagai jenis termasuk agroforestri seperti cempedak yang berusia ratusan tahun di dalam area kebun yang masih terdapat sejumlah tegakan pohon.
Komplain di basecamp perusahaan terkait tindakan yang biasa diambil. Berada dalam situasi kebun telah dicaplok itulah, warga kemudian terpaksa melepaskan ladang usaha taninya usai bersepakat dengan besaran ganti rugi yang disodorkan. Dengan demikian, perusahaan berhasil menggiring pemilik yang sebelumnya begitu resisten mempertahankan sarana produksinya ke ruang negosiasi harga melalui modus “gusur dulu baru giring pemiliknya ke basecamp”.[17]
Setelah menampung banyaknya laporan keluhan, kepolisian Halmahera Selatan kemudian melakukan himbauan. Sejauh ini, memang hanya sebatas himbauan karena dengan sederet daftar pelaporan per insiden tidak satupun ditindaklanjuti.
Baru pada pertengahan 2015, proses pengidentifikasian kebun-kebun masyarakat dilakukan. Dalam surat resmi perusahaan berlogo “Korindo” yang ditujukan kepada salah satu warga Desa Gane Dalam yang kebunnya tergusur, tertanggal 03 Mei 2015, General Manager PT.GMM menulis:
“…Berhubung mediasi serta koordinasi antara perusahaan dengan pemilik kebun belum mendapat satu kesepakatan dan proses penyelesaian masih berjalan, untuk itu kami sampaikan pemeriksaan lapangan dan harga ganti rugi tanaman terkait kebun dimaksud antara lain sebagai berikut: Satu, Data hasil pengkuran GPS yang tergusur seluas, 0,8 hektar; Dua, data hasil pemeriksaan jenis tanaman yang ditemukan, berbuah 42 pohon dalam berbagai jenis, belum berbuah 16 pohon dalam berbagai jenis; Tiga, untuk sistem ganti rugi tanaman merujuk pada keputusan Bupati Halmahera Selatan No.35.A….”[18]
Lampiran surat tersebut memuat peta sketsa lokasi kebun masyarakat Desa Gane Dalam, kuitansi transaksi, tabel daftar jenis tanaman kebun yang tergusur dengan rincian (32 pohon coklat berbuah, 15 pohon pala belum berbuah, 1 pohon lemon berbuah, 6 pohon langsat berbuah, 1 pohon kelapa berbuah, 2 pohon mangga berbuah dan 1 pohon belum berbuah. Total 42 berbuah, 16 belum berbuah), daftar rincian ganti rugi perusahaan, dan harga dasar tanaman perkebunan dari Pemda Hamahera Selatan.[19]
Terdapat dua poin pokok muatan surat yang dapat mengambarkan tendensi antar pihak serta menjelaskan konteks tenurial tidak ketemu kepentingan masyarakat dan perusahaan soal tata kelola lahan. Berikut sebagian petikan isi surat:
“….Bersama ini Managament Perusahaan Perkebunan PT.Gelora Mandiri Membangun menyampaikan surat pemberitahuan yang kedua sebagai dasar: Satu, surat pemberitahuan pertama dengan No.03/CSR-GMM/XII/2015 pada 29 Desember 2015 tentang kegiatan buka lahan di dalam areal hak perusahaan dan penjelasan tentang areal hak guna usaha perusahaan serta perlindungan kebun masyarakat. Kedua, dengan dasar poin satu di atas ternyata sampai saat ini tidak ada penjelasan lanjutan dari yang bersangkutan maka perusahaan berkesimpulan tidak mengakui sebagai kebun masyarakat dan akan melakukan pembersihan kebun tebangan baru tersebut, karena sesuai dengan undang-undang dan peraturan serta salinan putusan pengadilan negeri. Untuk itu dimohon agar kiranya mengangkat dan memindahkan semua benda atau barang apapun milik bapak dalam waktu sejak diterimanya surat ini….”[20]
Turunan masalah saat ini adalah akses. Manajer lapangan PT. Korindo, menyebut kebun dan area hutan yang masih bertahan di tengah blok persemaian sawit sebagai “kotoran”. Praktik penebangan pada kawasan yang dilindungi, seperti sempadan sungai dan jalur hijau membuat material tanah saat pembuatan trayek di luar koridor angkutan produksi menutupi anak sungai.
Bantaran anak sungai yang turut tertimbun tanah tumpukan hasil land clearing sebagian tidak lagi mengalir, keruh dan becek, hingga tak bisa lagi dimanfaatkan peladang.
Dalam testimoninya, dampak yang sering dikeluhkan warga adalah produksi tanaman pangan bulanan menurun. Banyak hasil tanaman rusak karena berdebu. Gagal panen dengan meningkatnya populasi “kumbang kelapa,” perubahan pola rutinitas meladang dari dua minggu bisa bertahan di gubuk kini tak lagi bisa karena keterbatasan bekal air yang dibawa dari rumah. Dan satu hal yang sudah inheren dalam praktik semacam ini adalah pelanggaran HAM dengan melibatkan aparat keamanan yang bertugas sebagai jongos korporasi.
Padahal peraturan perundang-undangan Indonesia menetapkan bahwa perusahaan harus memegang Hak Guna Usaha (HGU) sebelum memulai penanaman. Sebelum mengajukan permohonan HGU, tanah yang dimaksud harus berstatus clean and clear atau tidak dibebani hak milik lain. Agar dapat memulai proses ini, perusahaan harus terlebih dahulu mengantongi Izin Lokasi atas wilayah yang diinginkan.
Sebelum izin lokasi diterbitkan harus ada konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang dimohon. Tanpa konsultasi terlebih dulu dengan masyarakat, maka izin lokasi tersebut melanggar hukum. Pemegang Izin Lokasi diizinkan untuk membebaskan tanah dalam area Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli atau pemberian ganti kerugian sesuai aturan. Sebagaimana diterangkan di atas, posisi Korindo tidak memiliki dasar hukum.[21]
Izin lokasi bukan merupakan bukti hak atas tanah. Sebelum memperoleh tanah, pemegang Izin Lokasi dilarang mengolah atau mengusahakan lahan, atau menutup atau mengurangi aksesibilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi. Fakta hukum ini adalah bentuk pelanggaran hukum yang sangat jelas dilakukan Korindo.[22]
Izin lokasi juga menetapkan tenggat waktu untuk memperoleh lahan, biasanya tiga tahun dari diterbitkannya izin. Catatan perusahaan sendiri menunjukkan bahwa pada Mei 2014, yaitu tenggat waktu perolehan tanah berdasarkan izin lokasi, Korindo baru memperoleh persetujuan kompensasi untuk tanah seluas 412 ha saja, atau 4% dari luas wilayah yang diusulkan. Akan tetapi pada waktu itu, PT GMM/Korindo sudah membuka lahan dan melakukan penanaman kebun sawit secara tidak sah seluas 3.673 ha.
Pada 2017, tiga tahun setelah habis masa perolehan tanahnya, catatan yang sama mengklaim telah dilakukannya pembayaran kompensasi untuk tanah seluas 2.283 hektar (hanya 22% dari luas izin perusahaan). Akan tetapi, karena Izin Lokasi perusahaan habis masa berlakunya pada Mei 2014, maka tanah-tanah yang diperoleh setelah tanggal tersebut dinyatakan cacat prosedur.[23]
Masyarakat mengadukan bahwa PT GMM tidak menghiraukan semua tahap dalam proses perizinan ini. Fakta hukumnya, perusahaan ini telah memiliki IUP sejak 2006 tanpa melakukan AMDAL terlebih dahulu ataupun pelibatan masyarakat Gane yang terkena dampak dari rencana proyeknya. Perusahaan belum melakukan AMDAL sampai 2010, atau empat tahun setelah penerbitan IUP.
Dengan demikian, IUP PT GMM harus dinyatakan batal demi hukum. Sesuai dengan aturan bahwa setelah IUP milik PT GMM terbit pada 2006, perusahaan wajib memiliki HGU paling telat pada 2008. Karena PT GMM baru memperoleh HGU paling cepat pada 2016, maka HGU tersebut dianggap tidak sah, dan ini adalah pelanggaran kumulatif di atas IUP yang juga tidak sah.[24]
Pada 2016, BPN mengonfirmasi bahwa PT GMM tidak memiliki HGU,[25] dan dengan demikian perusahaan beroperasi secara ilegal sejak 2012. Surat yang dikirim Korindo pada 2018 menyiratkan bahwa perusahaan telah mengajukan permohonan HGU dengan modifikasi batas wilayah.
Tidak hanya itu, perusahaan ini juga diduga menggunakan api secara sistematis untuk membuka lahan. Pembukaan lahan yang dilakukan Korindo pada 2012 hingga 2016 menunjukkan korelasi erat dengan data titik api di dalam konsesi PT GMM yang berhasil direkam citra satelit. Pada tahun-tahun sebelum perusahaan membuka lahan, tidak ada catatan mengenai insiden titik api.[26]
Titik-titik api ini menunjukkan adanya pembakaran terbuka, yaitu pembakaran sisa-sisa kayu bekas tebangan. Sebuah metode ilegal dalam rangka pembersihan lahan setelah penebangan liar sebelum penanaman. Metode ini menghemat banyak waktu dan biaya dibandingkan pembersihan lahan secara mekanis.
Hal ini juga diadukan Warga Desa Gane dan aktivis lokal dari Walhi Maluku Utara yang juga mendokumentasikan pembakaran terbuka tidak jauh dari Desa Gane Dalam dan Sekely pada 2014-2015. Warga menyatakan api berasal dari tumpukan kayu hasil land clearing yang kemudian merembet menghanguskan semak dan tanaman tani.
Penyidikan mendalam terhadap proses pembukaan lahan Korindo yang dipublikasikan pada 2016 juga menemukan bahwa pada 2013 hingga 2015, terdapat lebih dari 894 titik api diamati dalam wilayah konsesi perusahaan Korindo di Papua dan Maluku Utara.[27]
Aktor lainnya yang harus bertanggung jawab atas persoalan ini adalah lembaga pendanaan[28] korporasi tersebut. Beberapa aliran keuangan utama bagi grup Korindo dapat diidentifikasi bersumber dari bank komersial dan bank “pelat merah”, mitra usaha patungan di Korea Selatan dan Jepang, dan pembiayaan melalui perusahaan cangkang di luar negeri yang dikelola oleh Pimpinan Korindo, Eun-Ho Seung. Hal mana teridentifikasi sumber kredit terbesar bagi grup Korindo adalah Bank Negara Indonesia (IDX: BBNI).[29]
Sudah merupakan fenomena yang jamak terjadi dari praktik perampasan lahan di wilayah rural (external land grabbing) oleh suatu korporasi berbasis lahan yaitu menjadikan lahan target dengan basis dokumen legal tertentu sebagai aset atau properti untuk mendapatkan pinjaman atau Kredit Dengan Agunan (KDA) kepada bank. Dengan demikian, tanah akan digunakan sebagai alat tawar utang dan oleh karenanya harus diagunkan. Dan sebagaimana lazimnya, bank akan melakukan proses appraisal untuk menilai apakah aset tersebut layak atau tidak dijadikan jaminan.
Sebagaimana PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mengaku telah mengikuti aturan main dan regulasi terkait penyaluran kredit kepada sejumlah korporasi yang dinilai berkontribusi aktif terhadap degradasi lingkungan. Hasil riset koalisi organisasi kampanye dan penelitian, seperti dikutip dari forestandfinance.org, bank pelat merah tersebut tercatat menyalurkan kredit kepada perusahaan-perusahaan sektor industri timber, karet, dan perkebunan sawit, termasuk Korindo. Padahal BNI telah dinyatakan OJK sebagai penggerak atau first mover yang menerapkan Perbankan Berkelanjutan (Sustainable Banking) di bawah POJK.[30]
Lantas bagaimana dengan standar penilaian dalam kebijakan keuangan berkelanjutan BNI sehingga masih terus mengalirkan sejumlah dana kepada korporasi serupa Korindo dalam periode 2016-2018?[31]
Pertanyaan di atas mestinya diajukan oleh para pengguna jasa perbankan karena bagaimanapun hal ini menyangkut dengan bagaimana bank beroperasi dan menggunakan mandat finansial dari nasabah, khususnya di Maluku Utara. Sekalipun sebagai nasabah kecil yang tak diperhitungkan dan dibekali pengetahuan akan hak sebagai konsumen jasa perbankan, uang Anda dan saya toh digunakan untuk mengongkosi arogansi korporasi yang telah melakukan dan mengabaikan hak alam (Teluk Gane) untuk tetap memiliki kerapatan pohon dan beragam varietas alamiah untuk menghiasnya tetap eksotik, perampasan lahan terhadap komunitas-komunitas setempat, menurunnya daya dukung lingkungan hingga menyebabkan menyusutnya cadangan air tanah, dan gagal panen,sebagai akibat dari kejahatan pendanaan semacam ini.
Riset mendalam kerjasama TUK Indonesia, RAN, dan Walhi, menyinyalir pendanaan keuangan dari BNI kepada grup Korindo menunjukkan bahwa bank tersebut tidak memiliki sistem uji tuntas yang efektif untuk memenuhi POJK atau bahkan kebijakan BNI sendiri. Pemeriksaan mendasar yang dilakukan oleh bank terhadap operasi Korindo seharusnya mengungkap kejanggalan serius, seperti pelanggaran perizinan Korindo di Gane yang tidak membuat laporan keuangan dengan benar sebagaimana mestinya. Pengidentifikasian terhadap risiko klien seperti yang disebutkan tidak hanya menunjukkan komitmen untuk menerapkan POJK, tetapi juga mengurangi keterpaparan bank terhadap risiko kredit signifikan yang timbul dari pemberian pinjaman kepada usaha-usaha dengan tata kelola buruk yang meremehkan peraturan perundang-undangan.[32]
Berdasarkan pelaporan keberlanjutannya, terdapat sejumlah cacat kritis dalam pendekatan Keuangan Berkelanjutan yang dilakukan BNI saat ini. Meskipun laporan 2017 menunjukkan adanya sejumlah perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya, laporan tersebut juga memperlihatkan kontradiksi dan kesalahan yang mencolok. Sebagai contoh, BNI melaporkan proporsi pemberian pinjaman yang dikategorikan sebagai ‘hijau’ atau ramah lingkungan berdasarkan pemberian pinjamannya kepada seluruh sektor, dan bukan membedakannya berdasarkan praktik ‘baik’ dan ‘buruk’ di dalam suatu sektor.
Klasifikasi ‘hijau’ yang diberikan secara otomatis itu, misalnya terhadap semua klien di sektor kelapa sawit, mengabaikan bukti ilmiah yang jelas mengenai dampak kumulatif dan permanen terhadap lingkungan dari deforestasi dan emisi GRK yang berkaitan dengan sektor tersebut, atau peran utamanya dalam mendorong konflik masyarakat dan bahaya sosial. Kesalahan ini semakin nyata ketika dilakukan evaluasi terhadap operasi klien tertentu secara rinci, seperti misalnya Korindo. Klaim BNI yang menyatakan bahwa pembiayaannya untuk Korindo memberikan kontribusi positif terhadap tujuan keuangan berkelanjutan POJK sepenuhnya tidak jujur dan sesungguhnya melanggar standar POJK.[33]
Ketimpangan Penguasaan Ruang dan Bias Daratan di Pulau Kecil
Sangat miris dari semua kondisi tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan membatalkan perizinan korporasi tersebut yang telah terbukti kuat begitu merusak dan buas dalam operasi pembalakan untuk perkebunan monokultur sawit.
Tinjauan terhadap operasi grup ini di Maluku Utara dan standar tata kelola korporat yang lebih luas menunjukkan adanya pola pelanggaran legal dan etik yang serius.
Negara mestinya mempertimbangkan ruang produktif masyarakat sekitar konsesi ini dan menunjang tata kelola berbasis hutan, kebun kelapa dan perikanan sebagai sektor andalan masyarakat di Gane. Bukan sebaliknya, merubah fungsi hutan dan lahan di atas kawasan pulau kecil yang kaya potensi hasil hutan selain kayu untuk menjadi kawasan budidaya perkebunan monokultur, yang tak sesuai dengan beban lingkungan pada topografi di semenanjung kaki Halmahera Selatan ini yang kontur wilayahnya berbukit dengan kemiringan lereng begitu curam.
Data topografi menunjukkan bahwa Blok Utara (Tawa-Pasipalele) sebagian besar memiliki kemiringan lereng curam, yaitu lebih dari 20 derajat, sehingga tidak sesuai untuk ditanami sawit akibat limpasan pupuk dan tingkat erosi yang tinggi.[34]
Mayoritas pemukiman desa-desa di Kecamatan Gane Barat Selatan dan Gane TImur Selatan berada di pesisir pantai, sehingga kegiatan eksploitasi kayu skala besar pada kawasan hulu berdampak langsung pada sumber kebutuhan yang vital di kawasan hilir seperti sumber air.
Secara kebudayaan, wilayah yang masuk dalam konsesi perusahaan telah dimanfaatkan secara turun temurun oleh warga Gane jauh sebelum Republik Indonesia dikonsolidasikan menjadi negara kesatuan.[35]
Sebagian besar pemukim di Teluk Gane adalah petani subsisten. Hampir di setiap rumah tangga memiliki ladang tanaman bulanan dan kebun kelapa. Kopra, pala, dan cengkih adalah komoditi andalan. Sudah lazim kebun kelapa dijadikan jaminan kepada saudagar di desa untuk memberikan pinjaman secara longgar kepada warga yang terdesak kebutuhan ekonomis.
Meski kultur dominan adalah agraris, namun wilayah kelolanya dikelilingi laut dengan potensi kelautan yang kaya. Secara khusus para peladang akan menangkap ikan seperlunya sekadar memenuhi asupan protein keluarga yang lazim dilakukan sehabis meladang dengan menyeberangi perairan teluk.
Dalam menjaga dan mengembangkan model kelola wilayahnya, orang Gane juga melakukan berbagai upaya perbaikan lingkungan dan pembudidayaan vegetasi berupa penanaman anakan bakau di sepanjang pantai yang kondisi mangrove-nya sudah rusak serta melakukan pembibitan tanaman organik secara hortikulura .
Potensi alam yang terkandung dalam perairan teluk Gane seperti jenis ikan Kerapu, Tongkol, dan Tuna tetap terjaga siklus reproduksinya, karena kawasan ini memiliki tutupan vegetasi mangrove yang padat. Namun di beberapa titik area padang lamun, kondisi terumbu karangnya telah memutih atau mati, hal ini diduga tergerus oleh proses sedimentasi material tanah saat kegiatan pembukaan hutan secara masif yang menyentuh area ekosistem hutan bakau.
Oleh karena itu, kebijakan pada hulu perizinan investasi berbasis lahan mestinya menyinergikan rencana penataan ruang dengan pola pengelolaan ekonomi yang telah dijadikan basis kehidupan masyarakat tempatan, sejauh hal itu menunjang income dan dijalankan dengan prinsip keberlanjutan.
Apatisme pengambil kebijakan terhadap problem tersebut memberi kesan bahwasanya masyarakat di semenanjung Gane memang diarahkan untuk dikonversi menjadi buruh perkebunan, mengingat terdapat 1.342 unit Kepala Keluarga di Kecamatan Gane Barat Selatan yang bergantung pada lahan pertanian non sawah. Rata-rata lahan kepemilikan per KK seluas dua hingga delapan hektar, dengan luas lahan keseluruhan sekitar 25.255 hektar.[36] Sangat disesalkan, gencarnya kampanye swasembada pangan dari pemerintah tidak sejalan dengan implementasi kebijakan sektoral di wilayah rural kepulauan kecil Halmahera Selatan.
Sebagaimana laporan dari BPBD Maluku Utara terkait data prevalensi ketahanan pangan yang didasarkan pada peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA), Halmahera Selatan merupakan zona merah (yang meliputi seluruh wilayah administratif kepulauannya) yang terindikasi mengalami kerentanan terhadap kerawanan pangan.
Merosotnya ketahanan pangan ini ditentukan berdasarkan sembilan indikator mengenai: ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan serta gizi. Tidak mengherankan, karena sebagian besar basis kelola masyarakat di wilayah perkampungan senantiasa tak ditunjang justru dipangkas atau dialihfungsikan untuk investasi industri ekstraktif dan timber juga perkebunan monokultur skala masif.
Hingga di awal 2020 saat in, orang Gane tetap bertahan di tengah terpaan bencana struktural dan bencana alam (gempa bumi) yang melanda wilayahnya pada Juli 2019 silam. Dampak kerusakan terhadap fasilitas publik dan ratusan rumah yang ambruk di sana serta jatuhnya korban jiwa dari gempa itu menambah duka lainnya.
Namun warga Gane yang sejak awal telah berjuang mempertahankan dan memproteksi ruang kelolanya dan menolak menjadi jongos koporasi tetap resisten di tengah situasi yang bahkan teramat kritis. Para penyintas dari kelompok ini menolak bantuan materil dari Korindo, sekalipun kebutuhan akan pasokan bahan pangan, sandang, dan papan begitu mendesak. Sebagian dari mereka telah kehilangan rumah dan masih bertahan hingga detik ini di tenda-tenda darurat dan berupaya untuk kembali bangkit, menanam perlawanan.
Daftar Acuan
- Sila kunjungi, https://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2018/11/TuK-RAN_Malapetaka..-1.pdf, bab Korindo di Karibia Hal. 13, bab Korindo di Maluku Utara Hal. 20;
- Salinan putusan Pengadilan Negeri Nomor: 03/Pdt.G/2015/PN.LBH; https://walhimalut.blogspot.com/2014/01/komnas-ham-investigasi-kasus-sawit-gane.html;
- Masyarakat Gane terdiri dari kelompok etno-linguis. Lokasi proyek perkebunan sawit mencakup Kec. Gane Barat Selatan yang secara administratif seluas 252,55 km persegi dengan luas pemukiman 26,90 km persegi, terdiri dari delapan Desa yang semuanya terdampak langsung, dan Kec. Gane Timur Selatan dengan luas adminisitratif 304,2 km persegi dengan luas pemukiman 46,4 Km persegi terdiri dari lima Desa;
- Tradisi pemanfaatan tanah dan hutan oleh masyarakat Gane dibuktikan oleh catatan sejarah yang mendokumentasikan desa-desa di Gane sejak 1600-an, dengan catatan rinci dari 1858. Wallace, A.R, 1869, ‘The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise, Volume 2’, Bab 34;
- Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan 29 Januari, Nomor: SK.22//Menhut-II/2009;
- SK Bupati Halmahera Selatan Tentang Persetujuan Izin Lokasi Nomor: 110 Tahun 2015;
- Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Maluku Utara;
- Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK. 6347/ MenLHK PKTI/IPSDA/PLA.1/11/2016, 21 November 2016;
- Surat dari Korindo kepada TuK-Indonesia & Rainforest Action Network (RAN), 22 Juni 2018. Korindo menyatakan bahwa klaim masyarakat “was not appropriate in light of Indonesian law and customs.”
- Ibid;
- Ibid;
- FPIC merupakan hak masyarakat atau persetujuan dengan sadar masyarakat untuk menerima atau menolak pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka. Lebih lanjut silah baca “Kasus Kebun Sawit: Putuskan Korindo Melanggar, FSC: Harus Evaluasi dan Pulihkan Kerusakan,” Mongabay, 2019. https://www.mongabay.co.id/2019/07/27/kasus-kebun-sawit-putuskan-korindo-melanggar-fsc-harus-evaluasi-dan-pulihkan-kerusakan/
- Ibid;
- Pada awal Desember, PT.GMM telah merombak 5.200 Ha lahan. Pembukaan lahan ini berlanjut hingga 2016 yang mengalami peningkatan menjadi 6.100 Ha pada akhir April. Kawasan hutan sekunder yang habis karena pembabatan itu seluas 5.100 Ha. Namun dari laporan lain disebutkan, bahwa luas pembukaan lahan berdasarkan IPK tahap I dan II dari periode 2012 sampai 2014 telah mencapai 6.750 hektar dan realisasi penanaman bibit sawit mencapai 109.988 bibit atau seluas 814,73 hektar;
- Dari catatan hasil pengumuman verifikasi PT. Equality Indonesia, terdapat 4 sertifikat yang diterbitkan antara 2011 hingga 2015 berdasarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang dimiliki PT. Gelora Mandiri Membangun;
- Keterangan terkait dihimpun dari hasil testimoni warga dan dapat dirujuk langsung dari salinan surat PT.GMM Nomor: 03/CSR-GMM/XII/2015 perihal “Penjelasan Kegiatan Buka Lahan di Dalam Areal Hak Perusahaan”, yang ditujukan kepada salah satu warga Desa Sekely (Nasarudin). Konteks surat tersebut diarahkan kepada warga yang enggan menjual lahan garapannya adalah klaim kepemilikan perusahaan atas area yang telah dimanfaatkan masyarakat sebagai kebun yang terdapat tanaman produktif (sudah sekali panen). Berikut dikutip beberapa poin sebagai muatan keterangan:
- “….bersama ini Management Perusahaan Perkebunan PT.Gelora Mandiri Membangun menyampaikan surat pemberitahuan dengan dasar : Satu, perusahaan melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit sesuai undang-undang dan peraturan Negara, berdasarkan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (SK.22/MENHUT-II/2009) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP); Dua, Salinan putusan Pengadilan Negeri Nomor: 03/Pdt.G/2015/PN.LBH, mengakui lahan tersebut adalah hutan tanah Negara; Tiga, perusahaan pada prinsipnya melindungi kebun masyarakat yaitu tanaman jangka panjang dengan jarak tanamannya yang teratur dan terpelihara secara terus menerus; Empat, kegiatan penebangan hutan atau buka lahan baru di dalam areal hak perusahaan merupakan pelanggaran melawan hukum; Lima, demi menjaga hubungan baik antara perusahaan dengan Bapak, dimohon agar bersedia menjelaskan kepada management perusahaan sejak surat ini diterima. Mengetahui General Manager (Jekal In). Tertanggal 29 Desember 2015….”;
- Surat pemberitahuan penggusuran lahan dari Korindo kepada salah satu warga Desa Gane Dalam;
- Ibid;
- Ibid;
- Sila baca “Malapetaka, Korindo, Perampasan Tanah, dan Bank,” Hal. 21, https://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2018/11/TuK-RAN_Malapetaka..-1.pdf;
- Ibid;
- Ibid;
- Ibid;
- Pertemuan BPN dengan TuK-Indonesia/Walhi Maluku Utara di Jakarta, 16 Mei 2016;
- Sila baca Malapetaka, Korindo, Perampasan Tanah, dan Bank, Hal 27, https://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2018/11/TuK-RAN_Malapetaka..-1.pdf;
- Ibid;
- Penyandang dana memiliki peran penting dalam memastikan alokasi modal dapat digunakan untuk melayani masyarakat secara keseluruhan, mendorong pembangunan dengan hasil yang positif, dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi semuanya. Pihak ini juga memiliki kemampuan yang unik untuk menghentikan pembiayaan bagi perusahaan yang mengakibatkan dampak sosial yang buruk dan kerusakan lingkungan. Menyadari hal ini, berbagai negara telah memberlakukan peraturan yang dirancang untuk meningkatkan keterbukaan perusahaan terhadap risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social and Governance/ESG) dan beberapa juga telah melaksanakan reformasi wajib terhadap proses dan standar ESG bank. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) yang mewakili 34 negara industri, telah melangkah lebih jauh dan memberlakukan kewajiban-kewajiban kepada lembaga keuangan negara anggota untuk mencegah dan memitigasi dampak yang diakibatkan oleh tindakan klien. Pemerintah Indonesia pun mulai mengintegrasikan aspek keberlanjutan ke dalam lembaga layanan keuangan Indonesia. Peraturan baru mengenai Implementasi Keuangan Berkelanjutan (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan/POJK) yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai berlaku pada 2019. Peraturan ini menandai langkah awal yang signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil, inklusif, dan berkelanjutan, serta mendesak sektor keuangan untuk menyadari tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan lingkungan alami. Lebih lanjut sila baca Malapetaka, Korindo, Perampasan Tanah, dan Bank, Hal 37, https://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2018/11/TuK-RAN_Malapetaka..-1.pdf;
- Ibid;
- Ibid;
- Korindo merupakan klien terbesar ke-enam BNI untuk sektor pertanian dengan jumlah pinjaman yang tercatat pada triwulan 2017 sebesar 190 Dolar AS (2,84 triliun rupiah), dan dilaporkan bahwa jumlah pinjaman dari BNI untuk Korindo terus meningkat dari tahun ke tahun (year on year/YOY), dengan kenaikan lebih dari 19% pada 2016 hingga 2018;
- Ibid;
- Ibid;
- Lereng curam menghambat kegiatan penanaman kelapa sawit karena meningkatkan biaya penanaman, perawatan dan panen. Selain itu, tanah dangkal mengakibatkan kemampuan akar tanaman mencengkeram tanah semakin menurun dan limpasan pupuk di permukaan semakin tinggi. Penanaman di lereng curam sering kali menyebabkan erosi tanah, yang merupakan kriteria eksklusi dalam penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT). Prinsip Pertanian yang Baik (GAP) juga melarang penanaman pada lereng dengan kemiringan di atas 20 derajat; Sila lihat, Pirker, J et al, “What are the limits to oil palm expansion?” , 2016.
- Tradisi pemanfaatan tanah dan hutan oleh masyarakat Gane dibuktikan oleh catatan sejarah yang mendokumentasikan desa-desa di Gane dari 1600-an, dengan catatan rinci dari 1858. Wallace, A.R, 1869, ‘The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise, Volume 2’, Bab 34;
- https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959378016300814?via%3Dihub;
- Gane Barat Selatan Dalam Angka 2019, https://halmaheraselatankab.bps.go.id/publication.html?page=3
Maluku Utara Tidak Untuk DiJual
Baca Selanjutnya
Surat Dukungan Pejuang Hak atas Tanah dan HAM yang Terdampak oleh Korindo Group dan POSCO
Baca Selanjutnya
SELAMATKAN atau MENGHITUNG MUNDUR 122 KAB/KOTA TERSISA
Baca Selanjutnya
Kabar dari Kebun
Baca Selanjutnya
RUU Cipta Kerja Ancaman Keselamatan Rakyat dan Pulau-Pulau Kecil
Baca Selanjutnya
Stop Kriminalisasi Aktivis dan Pers
Baca Selanjutnya
Gempa Bumi 07 Juli 2019
Baca Selanjutnya
Pelatihan Investigasi bagi Jurnalis dan Aktivis Lingkungan Hidup
Baca Selanjutnya
Peran Legislatif Terhadap Terhadap Upaya dan Mitigasi Perubahan Iklim di Maluku Utara
Baca Selanjutnya
Surat dari Kampung yang Menginspirasi
Baca Selanjutnya
S | S | R | K | J | S | M |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | 2 | 3 | ||||
4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 |
11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 |
18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 |
25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 |