Hari itu lautan begitu tenang. Matahari pun bersinar berada tepat di atas kepala tanpa dihalangi oleh gumpalan-gumpalan awan. Hanya angin laut yang diharapkan bisa membunuh teriknya matahari yang mengenai kulit. Tak begitu lama, KM. Tiga Putri yang kami tumpangi masuk di pelabuhan kecil Pulau Dowora, sebuah pulau yang dekat dengan Halmahera. Tali dilempar ke pelabuhan. Pelan-pelan kapal mulai menyandar ke dermaga. Di sini, kapal berlabuh untuk sekadar menurunkan penumpang atau membeli makanan untuk bekal perjalanan lanjutan.
Setelah dari pelabuhan ini, KM. Tiga Putri pun singgah di pelabuhan Desa Gane Dalam, tempat tujuan kami. Hari ini, saya bersama dua rekan yang bertolak ke Gane Dalam. Cerita tentang Gane sudah lama terdengar. Kisah tentang masuknya perkebunan monokultur, perkebunan sawit yang berdampak pada tercerabutnya wilayah kelola dan ruang hidup masyarakat Gane.
Butuh waktu hampir dua jam perjalanan dari Pulau Dowora menuju Gane Dalam. Pemandangan yang kontradiksi dipersembahkan dengan menampilkan pulau-pulau kecil berpasir putih dan tertutup cantik dengan hutan mangrove, lalu dengan cepat terganti saat memandang ke “Tanah Basar”, pulau Halmahera. Di sini, puncak-puncak bukit yang ada di sekitar wilayah Gane Dalam sudah botak, berubah coklat, dengan garis berliku-liku mengikut kontur tanah, tak ada lagi hutan, kering kerontang.
Kami pun tiba di pelabuhan Gane Dalam. Merapikan barang bawaan dan kemudian menuju pemukiman. Kami sudah ditunggu oleh beberapa orang tua, bapak-bapak dan ibu-ibu. Sepertinya kedatangan kami sudah diinformasikan sebelumnya. Bersalaman dan berdiskusi sebentar. Saya mendapat kesempatan untuk menginap di rumah Om Umar. Om Umar adalah salah satu tokoh gerakan masyarakat Gane yang menolak kehadiran perusahan sawit. Rumah sederhana dengan sedikit usaha minyak di depannya. Om Umar beserta Istri (Bibi Lake) dan dua anaknya yang menghuni rumah tersebut.
Produksi Pertanian Menurun, Sungai pun Ikut Menghilang
Sejak kehadiran perkebunan sawit di tanah Gane, produksi pertanian masyarakat sangat menurun. Penggusuran kebun-kebun milik warga menjadi salah satu penyebab sumber produksi masyarakat Gane menghilang. Hasil panen Kelapa dan Pala yang selama ini menjadi penopang ekonomi masyarakat digusur paksa oleh perusahan hanya dengan dasar tanah negara dan izin dari pemerintah tentang wilayah konsesi. Salah satu pedagang pengumpul yang sering membeli hasil panen masyarakat mengatakan, bahwa sebelum datangnya perusahan, dalam tiga bulan saja mereka bisa membeli 10-15 ton kopra dari masyarakat.
Namun setelah perusahan hadir, untuk mengumpulkan 10 ton saja harus membutuhkan waktu sekitar empat hingga enam bulan. Ini diakibatkan oleh penggusuran atau penjualan lahan-lahan kebun masyarakat oleh perusahaan. Semakin menyusutnya lahan-lahan produkif pertanian yang kemudian berpengaruh terhadap hasil pertanian di daerah ini. Jika berdiri di dekat pelabuhan Gane Dalam, kita akan dengan jelas diperlihatkan dengan hutan dan kebun di arah timur permukiman telah berubah, tak ada lagi pohon-pohon besar berganti dengan tanah coklat dan semak-semak kecil yang tumbuh bersama dengan bibit-bibit sawit yang mulai subur di atas tanah Gane.
Dari tuturan beberapa ibu-ibu, saat ini mereka semakin sulit saat harus ke kebun, apalagi kebun tersebut berada dekat dengan lokasi perkebunan. Abu yang beterbangan di jalan tanah apalagi saat dilalui kendaraan perusahan pengangkut kayu log, tak ada tempat berteduh karena hutan benar-benar sudah digunduli. Jalan-jalan kebun tak terlihat lagi tergantikan dengan irisan-irisan tanah mengikuti kontur bukit yang dibuat oleh buldozer perusahan.
“Bukan cuma itu, dorang juga tutup kali yang biasa torang pake untuk minum di kebun,” ungkap salah seorang ibu.
Sebelum perusahan datang, ada beberapa sungai besar yang mengaliri tanah Gane seperti Waya Bakusili, Waya Bore dan Wali dan Waya Marsogili. Sungai-sungai ini dikonsumsi masyarakat tatkala mereka ada di kebun, jadi tak perlu bersusah payah membawa air minum dari kampung. Namun sekarang kondisinya tak lagi sama dengan dulunya. Waya Bakusili sudah tak lagi mengalir karena aliran sungai ditutup perusahan, Waya Wali yang merupakan sungai besar tak terlihat lagi. Hilang tertutup timbunan tanah dari bukit-bukit sekitar aliran sungai. Kondisi serupa juga terjadi pada Waya Marsogili. Masih ada air yang mengalir namun sudah keruh bercampur sedimentasi, tanah bawaan hasil land clearing. Air tersisanya juga digunakan untuk tempat mencuci alat-alat yang digunakan untuk proses pemupukan sawit. Entah sudah berapa banyak limbah yang sudah mengendap di sungai ini. Padahal dulunya di sungai ini digunakan untuk konsumsi masyarakat bahkan penghasil ikan dan udang air tawar.
“Dulu torang biasa tar bawa air kalau pigi kobong, karena biasa ambe di kali ini. Tapi sekarang su tara bisa. Air su warna coklat baru su jadi tampa karyawan cuci dong pe alat-alat pupuk,” ucap salah satu warga desa Gane Luar.
PT. Korindo datang di Gane sekitar tahun 2012 yang awalnya dengan nama PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM). Perusahan ini berinvestasi pada perkebunan monokultur yakni Sawit. Perusahan mendapat izin konsesi sekitar 11.400 Ha yang didalamnya ada kebun-kebun masyarakat Gane Dalam dan desa-desa sekitar. Konflik mulai terjadi ketika perusahan mulai menyerobot lahan masyarakat dibantu dengan kawalan aparat keamanan.
Sebenarnya tak semua warga ingin melepaskan tanah mereka namun karena terdesak. Ada yang benar-benar sudah digusur baru diberitahu, mau tak mau akhirnya ada negosiasi untuk melepaskan lahan tersebut. Namun ada juga yang benar-benar tak mau melepaskan lahan mereka. Biasanya untuk lahan yang tak dilepaskan, disekitarnya akan digusur sehingga tersisa hanya kebun tersebut. Ini juga sebagai cara mengintimidasi masyarakat dan kemudian melepaskan lahan mereka.
Jaga Tanah, Jaga Sejarah
Walaupun kondisi sekitar yang benar-benar porak-poranda, ketika banyak orang tak lagi memiliki ikatan kuat dengan tanah dan hutan, ketika banyak orang dengan sadar dan congkak melepas tanah, menjualnya untuk ditanami Sawit menggantikan Pala dan Kelapa yang selama ini menghidupkan mereka namun masih tetap ada orang-orang yang sadar akan sejarah, menjaga tanah untuk anak cucu. Hanya karena alasan untuk anak cucu.
Om Umar bercerita, saat mereka melawan perusahan ada 13 orang yang akhirnya ditangkap oleh polisi hanya karena alasan mengganggu aktifitas perusahan padahal mereka hanya mempertahankan apa yang mereka punya. Intimidasi terus terjadi pada warga yang tak mau melepaskan tanahnya. 13 orang tersebut dipenjarakan selama beberapa bulan di Bacan, namun akhirnya dinyatakan bebas murni ketika masuk ke pengadilan. Yang namanya perjuangan pasti harus ada yang dikorbankan. Salah satunya kehidupan rumah tangga beliau. Hampir 2 tahun usaha pribadinya tak berjalan bahkan sepeda motor yang hampir selesai dicicil ditarik dealer karena tunggakan bayaran selama beberapa bulan.
Satu hal menarik yang saya jumpai dikampung ini adalah semangat yang dimiliki bukan hanya dari para lelaki, kaum perempuan pun ikut melawan. Mendukung apa yang sedang dilakukan oleh para kaum lelaki. Tak ada kata lelah untuk hal yang benar-benar mereka percayai. Suatu saat ketika kami bersama-sama belajar membuat peta kampung, para ibu-ibu sangat bersemangat untuk belajar walaupun dengan segala keterbatasan mereka.
Saya banyak belajar dari mereka, orang tua-tua di Gane yang tetap mempertahankan tanah mereka, Berjuang untuk sesuatu yang dianggap hal prinsip tentang hidup yang sekarang dan yang akan datang.
Berjuang untuk identitas sesungguhnya sebagai orang Gane yang punya pala, yang punya kelapa, yang punya sagu, yang punya hol-hol sebagai tabungan ikan dan punya tanah untuk anak cucu. Tak ada alasan muluk-muluk ketika mereka bertahan untuk menjaga tanahnya, disaat sekeliling mereka dengan pongah menjual tanah dan menjadi buruh perusahan. Hanya satu alasan, untuk anak cucunya nantinya.
Om Umar dan beberapa orang tua dan anak muda masih tetap berjuang untuk tanah Gane tetap terjaga untuk anak cucu mereka. Kami akan mempertahankan apa yang kami punya dan tak akan mengambil apa yang bukan milik kami.
“Akanik akanik, Akanim akanim (Kami punya ya kami punya, Kalian punya ya punya kalian)”.
Diposting oleh Abe Ngingi, Selasa, 01 Maret 2016 di Halmahera Expedition Project “Melihat, Merasakan, Menulis dan Mengabadikan”