Halmahera adalah salah satu pulau besar yang ada di provinsi Maluku Utara selain Pulau Obi, Bacan dan Mangole. Halmahera telah dikenal ratusan tahun lalu sejak Ternate dan Tidore dikenal sebagai pusat rempah rempah pada bagian timur dunia. Kelapa, Cengkeh dan Pala serta hutan-hutan sagu tumbuh subur sampai akhirnya para penjajah itu datang. Eksplorasi dan eksplotasi rempah telah membawa bangsa Spanyol, Inggris, Portugal dan Belanda menginjakan kakinya ke tanah vulkanis yang subur. Ratusan tahun dikuasai,entah sudah berapa banyak Pala dan Cengkeh yang dibawa ke dunia para orang kulit putih tersebut.
Eksploitasi besar-besaran terhadap rempah rempah tak berakhir disitu. Puluhan tahun setelahnya. Setelah Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai negara merdeka di tahun 1945. Eksploitasi terhadap sumberdaya alam seperti hutan dan mineral semakin tak terelakan. Kekayaan hutan yang berisikan kayu, gaharu dan rotan serta isi bumi seperti emas, nikel dan minyak membawa bangsa-bangsa lain pula terus menjarah sumberdaya alam Halmahera. Tahun 1997, emas Halmahera membawa perusahan transnasional PT Nusa Halmahera Mineral datang ke Kao, tepatnya diatas tanah ulayat orang Pagu.
Perampasan ruang hidup masyarakat yang didalamnya ada sumber produksi dan konsumsi terus dilakukan kalangan korporat sebagai pemilik investasi dengan berdasarkan kepada surat sakti yang diterbitkan oleh pemerintah, entah itu pemerintah kabupaten hingga pemerintah nasional. PT. Nusa Halmahera Mineral, sebagai salah satu pemegang izin pertambangan di tanah Pagu tak sama bedanya dengan para pemilik modal lainnya, yakni perusahan-perusahan penghancur hutan, yang datang mengeruk dan pergi meninggalkan dampak panjang kerusakan ekologi dan sosial di Halmahera.
16 Desember 2016, saya mendapat kesempatan berkunjung ke salah satu dusun orang Pagu yang letaknya sangat dekat dengan daerah operasi PT. Nusa Halmahera, perusahan Australia yang 30 % sahamnya dikuasai oleh PT Antam, BUMN Indonesia. Dusun Kobok. Dusun ini berada sangat dekat dengan perusahan khususnya dengan daerah penimbunan limbah tambang. Tailing dam.
Kampung nampak sepi. Tak terlihat orang sepanjang jalan yang saya lewati. Jalan berbatu bercampur tanah liat, bekas jalan perusahan kayu PT. Pantungal [perusahan logging yang menjarah habis kayu di hutan Pagu] ini menjadi satu-satunya akses jalan dalam dusun. Tak berselang lama,saya berpapasan dengan seorang ibu tua.
Ibu,dimana rumahnya bapak Maleakhi, tanya saya.
Paitua pung rumah yang ada terpal biru itu. Tapi sepertinya tar ada orang dirumah. Mungkin ada di rumah istri mudanya, jawab ibu tersebut.
Coba saja ke pak dusun, mungkin antua tahu, tambahnya sambil menunjuk rumah kepala dusun yang berada sekitar 100 m dari tempat kami.
Makasih ibu, jawab saya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah Kepala Dusun Kobok.
Sebenarnya saya belum terlalu puas dengan jawaban ibu tadi. Menurut informasi yang didapat, Bapak Maleaki adalah salah satu keluarga yang menerima ganti rugi kebunnya dari perusahan sebesarnya 20 juta rupiah. Kenapa kondisi rumahnya sebegitu parah? Beratapkan terpal biru yang sudah usang dan lantai rumah dari tanah dengan beberapa buah kursi yang berantakan tak beraturan.
Saya tiba dirumah kepala dusun yang tak jauh dari tempat saya dengan ibu tua tadi berbincang.
Ullooo, saya coba memanggil dengan sapaan orang Pagu umumnya.
Tak lama kemudian muncul dari dalam rumah, seorang laki-laki muda. Mungkin umurnya sekitar 30 tahun.
Maaf, ini rumahnya pak dusun Kobok ? tanya saya
Ia, saya sendiri, Kadus Kobok, Jawab laki-laki tadi.
Saya dipersilahkan masuk ke rumahnya kemudian memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan. Kami pun ada dalam obrolan ringan hingga kemudian mulai berbincang tentang kondisi Kobok saat ini.
Baru-baru ini, ada 6 KK (kepala keluarga) yang dong pe kobong mau perusahan gusur, termasuk saya punya, Pak Dusun memulai cerita tentang situasi Kobok.
Kobong itu isinya ada macam-macam. Mulai dari Pala, Cengkeh, Kelapa, Pisang, Kasbi deng rica. Torang sudah coba untuk berbaik hati tapi memang perusahan tetap tar menghargai torang. Dorang mau ganti rugi tapi pake dong pe aturan sendiri, Imbuhnya dengan wajah sedikit tegang.
Kasus penyerobotan lahan yang terjadi terhadap warga dusun Kobok pada kebun-kebun mereka ini dilakukan perusahan untuk rencana perluasan tailing dam, tempat penampungan limbah olahan emas perusahan. Rata-rata luasan kebun yang diserobot 1- 2 hektar. Negosiasi ganti rugi pernah dilakukan namun tidak mencapai kesepakatan karena menurut masyarakat harga yang diberikan perusahan sangat tidak wajar. Sama saja dengan menghina harga diri kami.
Menurut Yance Kakale (30 Tahun) yang juga kepala dusun Kobok, 6 KK ini awalnya bertahan namun akhirnya ada 1 KK yang melepas kebunnya dengan ganti rugi sebesar 20 juta rupiah. Ia pun tidak terima, karena yang diganti hanya tanaman-tanaman mereka tidak terhitung tanah kebun tersebut. Pihak perusahan, sering mengatakan bahwa tanah kebun itu adalah tanah negara dimana masyarakat tidak memiliki hak atasnya karena tak bersertifikat. Dan juga, kami [Perusahan] sudah mendapat izin dari negara untuk wilayah ini. Jadi terima atau tidak, kami akan tetap menggusur kebun-kebun ini untuk pembangunan tailing dam. Dalih lain yang digunakan perusahan bahwa pembayaran pernah dilakukan kepada 6 keluarga pada waktu perusahan pertama kali datang. Hal itu dibantah oleh masyarakat karena 6 keluarga itu hanya menjual kebun mereka bukan seluruh wilayah ini. Lagipula ini merupakan wilayah adat yang sebenarnya dimiliki oleh semua orang.
Kepala Dusun pun pernah bertemu dengan pengacara perusahaan [Nuha Pihang] terkait masalah ini. Itikad pertemuan ini karena menurut pak dusun, pak Nuhang adalah orang Kao yang bekerja untuk perusahan jadi mungkin bisa membantu mereka. Namun jawaban dari pengacara perusahan tadi benar-benar melecehkan orang Pagu. Pak dusun kemudian meniru perkataan yang disampaikan pengacara tadi kepadanya :
“Siapa yang mengizinkan berkebun disini? Izin dari kepala desa yang mana? Dasar apa kebun dibuat disitu? Demikian apa yang disampaikan pengacara tadi ke kepala Dusun Kobok.
Cukup miris memang melihat kondisi masyarakat Kobok yang kehidupannya sangat dekat sumber penyakit berbahaya yakni limbah tambang. Rata-rata kebun-kebun tersebut berada sekitar 100 – 200 meter dari tanggul tailing dam dan memang sangat berpotensi tercemar. Sungai Kobok yang mengalir tepat dibelakang pemukiman masyarakat Kobok juga sebenarnya sudah tak layak lagi untuk dikonsumsi. Dihulu Sungai Kobok mengalir Sungai Sambiki yang melintasi tailing dam [pernah terjadi tumpahan limbah disungai ini] dan sungai Bora yang bagian hulunya dijadikan tempat buangan sisa-sisa galian dari dalam terowongan tambang.
Perubahan rona lingkungan khususnya kondisi sungai terlihat jelas mulai dari warna sungai yang sudah keruh hingga perubahan temperatur air sungai. Menurut masyarakat di Kobok, temperatur air sungai Kobok dan Sungai Bora sangat berbeda dari sebelumnya. Jika kaki sebelah dicelupkan ke sungai Kobok dan sebelahnya ke Sungai Bora, tempertur sungai Bora lebih hangat dibandingkan sungai Kobok. Hal ini mulai terjadi saat terowongan [sistem penambangan tertutup] mulai beroperasi. Air panas yang berasal dari dalam terowongan disedot dan dibuang langsung ke sungai Bora.Hal inilah salah satunya yang membuat perubahan temperatur air pada sungai Bora. Masyarakat di Kobok juga masih sangsi apakah yang dibuang itu hanya air panas yang berasal dari dalam terowongan ataukah ada bahan kimia yang tercampur dalam air tersebut.
Menurut Yance, beberapa waktu lalu pernah dilakukan survei langsung oleh beberapa tenaga medis yakni dari Ternate, Tobelo dan Manadodi dusun ini. Hasil survei tersebut kemudian disampaikan kepada pak Yance bahwa sungai Kobok yang sering dikonsumsi masyarakat sudah tidak layak lagi. Laporan tertulisnya memang akan dikirim namun sampai sekarang belum diterima.
Saya kemudian bertanya tentang bagaimana keterikatannya dengan tanah dan wilayah ini sebagai orang Pagu.
Sebenarnya torang tara mau lapas tong pe lahan tapi tar ada pilihan lain karena su talalu dekat dengan tampa limbah. Kita tako kasi makang kita pe anak dan istri dengan kasbi dan pisang yang su tercemar. Kalau kebun itu jauh dari tailing dam, kita tara akan lapas berapapun dorang mau bayar, jawabnya dengan nada yang dalam.
Menurut dia bahwa wilayah Kobok ini adalah milik mereka jauh sebelum perusahan menginjakan kaki dan merampas emas milik mereka. Mereka bukan baru datang kemarin dan bermukim disini seperti yang sering diberitakan perusahan bahwa penduduk dusun Kobok adalah para penambang liar.
Torang pe orang tua, su hidup ratusan tahun disini. Dorang berburu, biking kobong lalu menetap disini. Jadi ini bukang torang menumpang di orang pe tanah. Lalu bagaimana dorang yang dari Australia datang lalu atur par torang yang punya tanah ini ? tambahnya dengan nada sedikit gemetar.
Kasus perampasan lahan masyarakat oleh perusahaan yang dirasakan masyarakat Kobok bukan baru ini saja. Ditahun 2015, kasus serupa pernah terjadi pula yakni ketika perusahan menggusur kebun milik 7 KK [Kepala Keluarga]. Untuk hal yang sama pula. Perluasan penampungan limbah tambang, Tailling Dam.
NGAILAMO DAN EKSPLORASI PT. NHM
Bukan hanya kasus penyerobotan kebun warga di Kobok, kasus lain yang melibatkan perusahan ini yakni ketika terjadi pengrusakan tanaman cengkeh warga Sosol saat perusahan melakukan aktifitas eksplorasi diwilayah Ngailamo. Ada 42 pohon cengkeh produktif yang ditebang dan dikuliti disekitar area eksplorasi perusahan.
Torang tau bahwa torang pe cengkeh itu dorang [perusahaan] kase rusak saat torang mau pigi panen. Pas sampe, ternyata dari sekitar 60 pohon itu, 42 pohon dorang su kase rusak. Lokasi itu perusahan kase nama Ngailamo padahal sebenarnya akang pe nama Do’dodon,Ungkap Nok Djoung [55 Tahun], pemilik kebun cengkeh tersebut.
Kejadian ini terjadi sejak 2015 lalu namun sampai sekarang tidak ada itikad baik dari pihak perusahan. Sudah ada beberapa kali mediasi yang dilakukan antara pihak keluarga dan pihak perusahan yang difasilitasi oleh pemerintah kecamatan Maliput. Pihak perusahan tetap bersikeras bahwa cengkeh yang dirusak tersebut bukan dilakukan oleh pihak perusahan. Namun pihak keluarga membantah hal tersebut. Bagaimana mungkin cengkeh yang dirusak itu dilakukan orang lain sedangkan lokasi itu merupakan lokasi eksplorasi perusahan dimana ada camp perusahan dan beberapa lubang bor dengan diameter 1 x 1 m. Aktivitas pengeboran itupun tidak pernah diketahui oleh warga pemilik lokasi tersebut. Dalih lain yang disampaikan perusahan yakni daerah tersebut adalah kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan perusahan [PT. NHM] dalam aktivitasnya sudah mendapatkan izin dari pemerintah. Mediasi yang dilakukan pun tak menemui kesepakatan.
Kejadian pengrusakan terhadap tanaman cengkeh milik keluarga Djoung warga desa Sosol karena aktivitas eksplorasi perusahan pernah terjadi pula di tahun 2008. Saat itu perusahan melakukan eksplorasi di wilayah Batu Angus. Wilayah Batu Angus ini dikuasai oleh beberapa marga termasuk marga Djoung. Tanaman yang diusahakan pada lokasi ini dominan adalah cengkeh. Ketika pengrusakan dilakukan oleh perusahan, beberapa marga menuntut ganti rugi sebagai akibat perbuatan tersebut. Dalih tanah negara dan kawasan hutan digunakan perusahan untuk tetap bertahanmelegitmasi perbuatan mereka itu benar. Masyarakat yang cengkehnya di dirusak tersebut menuntut ganti rugi dari perusahan senilai 1 milyar rupiah. Mediasi pun tak menemui kesepakatan. Karena tak kunjung selesai, kasus ini pernah dilaporkan ke pihak kepolisian.
Waktu torang lapor pertama di polsek Malifut, Kapolsek pernah tanya; Tanah ini ada dia pe sertifikat ? torang bilang tarada. Lalu torang lanjut laporan lagi ke Polres Tobelo. Pertanyaan yang sama, tanah ini ada dia pe sertifikat ka tarada? Kalau tarada, ngoni dorang tara kuat, menurut anggota polres yang terima tong pe laporan itu, Ungkap Om Nok Djoung.
Menurut warga pihak Polres pernah memanggil pihak perusahan hingga dua kali namun perusahan tidak pernah datang hingga akhirnya kasus inipun seakan hilang tak berbekas hingga saat ini. Warga yang memasukan laporan ke Polres pun tidak tahu kenapa kasus ini kemudian hilang, tak ada informasi sama sekali dari pihak Polres.
Sebenarnya ada semacam fenomena yang sering dilakukan oleh perusahan yakni menyerobot lahan masyarakat, dimediasi, sepakat dengan ganti rugi yang ditawarkan perusahan. Jika tidak sepakat, perusahan akan membiarkan, di ulur-ulur waktunya kemudian kembali masuk dalam lahan masyarakat atau langsung beroperasi [menggusur] dengan kawalan aparat keamanan. Ini terlihat dari berbagai kejadian yang sama bentuknya dan terus berulang.
Kekuatan perusahaan sebagai pemilik modal mampu menguasai pihak-pihak yang dianggap penting bahkan pihak penegak hukum sekalipun. Perampasan dan penghancuran ruang serta sumber-sumber produksi masyrakat telah berlangsung sejak pertama kali kaum korporat ini menginjakan kaki di tanah Halmahera.
Kerusakan ekologi semakin tak terelakan dengan rusaknya sungai dan hutan serta limbah yang terus menggenangi dan masuk ke dalam teluk Kao. Tatanan sosial masyarakat Pagu secara khusus dan yang berada sekitar areal tambang semakin tak terlihat ketika sistem-sistem sosial itu hilang perlahan digantikan individualistik dan materalistik.