FGD: PERAN LEGISLATIF TERHADAP UPAYA MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA DI MALUKU UTARA

Minggu, 30 September 2018. WALHI Maluku Utara, kembali melakukan diskusi forum legislatif untuk lingkungan hidup yang ketiga kalinya. Bertepatan dengan bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengga, maka tema yang diusung adalah ‘Mitigasi dan Adaptasi Bencana di Maluku Utara’.

Diskusi; Peserta FGD Mitigasi dan Adaptasi Bencana di Maluku Utara

 

Tujuan dari diskusi ini adalah untuk melihat sejauh mana peran legislatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi bencana yang ada di Maluku Utara. Kegiatan ini berlangsung pukul 16.00 WIT, bertempat di Home Caffe Studio, Jl. Sultan M. Djabir Syah, Kec, Ternate Tengah, Kota Ternate.

Diskusi kali ini menghadirkan Bapak Dedy Arif, Ketua Ikatan Geologi Indonesia, Maluku Utara, sebagai pemantik diskusi. Peserta yang mengikuti diskusi berjumlah 40 orang yang terdiri dari anggota legislatif Kota Ternate, para calon legislatif, kawan-kawan media, dan mahasiswa Kota Ternate.

 Pak Dedy Arif, saat menyampaikan paparan materi terkait dengan kondisi Maluku Utara yang sangat rentan terhadap bencana

 

Ismet Soelaiman, saat memberikan pengantar diskusi mengatakan, bicara tentang sistem ekologi tidak hanya bicara tentang perampasan ruang hidup dan penghancuran tata sistem lingkungan, tapi kawan-kawan juga harus memahami tentang mitigasi bencana dan adaptasinya seperti apa, karena sangat penting untuk mengetahui dan memahami substansinya.

“Daerah ini sangat rentan terhadap bencana, maka penting untuk memahami terkait dengan mitigasi bencana agar kita bisa membuat persiapan dalam menghadapi bencana,” jelasnya.

Bapak Dedy, menjelaskan bahwa Maluku Utara potensi bencananya sangat besar, namun pemerintah daerah tidak memiliki persiapan untuk mengatasi masalah bencana. Bahkan hingga saat ini, pemerintah daerah belum melakukan simulasi besar untuk menghadapai bencana yang akan terjadi. Menurutnya, mitigasi bencana harus dijadikan budaya di daerah ini agar pemerintah daerah dan masyarakatnya siap ketika terjadi bencana.

Dia juga mengatakan bahwa mitigasi dan adaptasi bencana harus dimulai dari anak-anak pendidikan dasar, karena anak-anak selalu menjadi korban yang paling banyak ketika terjadi bencana. Maka pengetahuan mitigasi bencana sangat penting buat mereka. Jika anak-anak sudah dibekali dengan pengetahuan tentang bencana, maka mereka akan tahu apa yang harus mereka lakukan ketika terjadi bencana.

“Kita bisa belajar dari Jepang. Di sana, mereka menjadikan mitigasi dan adaptasi bencana sebagai budaya mereka. Makanya mereka sudah sangat siap ketika terjadi bencana,” jelas Pak Dedy.

Bapak Jainudin, Anggota DPRD Kota Ternate memaparkan, karakteristik bencana yang ada di Kota Ternate dengan risiko paling tinggi adalah gunung api, yang kemudian disusul dengan bencana banjir, tanah longsor, krisis air tanah dan bencana sampah. Pemerintah daerah juga telah melakukan sosialisasi dan penguatan kapasitas kepada masyarakat terkait dengan dampak dari bencana yang ada. Namun, kendala yang mereka hadapi yaitu sangat sulit mangalokasi penduduk yang hidup dibentangan sungai dengan risiko bencana sangat tinggi.

“Meskipun kami telah melakukan sosialisasi terkait dengan risiko bencana yang akan dialami oleh mereka ketika terjadi bencana, mereka tetap tidak ada yang mau pindah. Mereka lebih memilih hidup di daerah yang tinggi risiko bencananya, ketimbang hidup di daerah yang aman dari bencana,” ujar Pak Junaidi.

Ia berharap, masyarakat Kota Ternate, khususnya yang hidup dibentangan sungai dan daerah-daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana, bisa menyadari hal tersebut, karena ini demi kebaikan mereka juga.*

Sebarkan
Close Menu