TERKEPUNG TAMBANG, BAGANG & HUTAN
Aktivitas nelayan di Teluk Buli di tengah konsesi pertambangan

TERKEPUNG TAMBANG, BAGANG & HUTAN

Orang bilang doi su tamba susah ketika perusahan [tambang] tutup. Padahal sebenarnya torang masih punya Bagang deng Ngafi yang dulu berjaya sebelum tambang datang. Itupun kalau dorang masih mau mengaku sebagai orang Maba,

[Hasim Kie ,58 Tahun, Imam Masjid Mabapura]

Perampasan ruang hidup yang terjadi di Halmahera terus berlanjut setelah era rempah-rempah. Orde Baru turut menggariskan sejarah kelam perampasan ruang hidup masyarakat mulai dari kong-kalikong dengan perusahan-perusahan HPH hingga perusahan-perusahan tambang yang membawa kerusakan sosio-ekologis bagi masyarakat. Orang Halmahera tetap menjadi penonton terhadap pertarungan perebutan sumberdaya dan penikmat dari kerusakan alam yang kemudian menjadi warisan turun temurun. Orang Mabapura di Halmahera Timur telah menyaksikan sendiri hal tersebut, ketika PT. Nusa Fatma membabat habis pohon damar yang dipelihara turun temurun hingga bagaimana pulau Pakal, pulau Mabuli dan Tanjung Buli dicukur tanahnya dan dikeruk nikelnya hingga kering kerontang. Mabapura, riwayatmu kini.

Senin, 19 Desember 2016, saya kembali menginjakan kaki di Halmahera Timur tepatnya di desa Soa Sangaji setelah menempuh perjalanan hampir 9 jam dari Kao, Halmahera Utara mengitari teluk Kao hingga mengarah ke bagian timur dari pulau Halmahera.

Sore ini cuaca agak sejuk karena hujan deras, beberapa jam sebelum saya tiba disini. Sebenarnya orang lebih mengenal desa Soa Sangaji dengan sebutan Mabapura. Apakah ada kaitan dengan nama wilayah di tempat lain seperti Tembagapura atau Singapura ? Entahlah. Setelah bertemu dengan salah satu teman yang cukup kenal dengan wilayah ini, kami kemudian menyusun rencana perjalanan berikutnya.

Di hari berikutnya, kami bertemu dengan salah seorang pemuka di desa Soa Laipoh. Om Yunus (55 Tahun) yang berprofesi sebagai petani. Beliau coba membuka bacarita ini dengan menceritakan tentang kondisi Mabapura masa lalu.

Mabapura ini awalnya bagian dari Wailukum tapi sekitar tahun 1972 pindah kesini dan sampai saat ini, Ungkap Om Yunus.

Saat ini ada dua desa yakni desa Soa Laipoh dan Soa Sangaji berdasarkan administrasi negara tapi kalau sesuai adat torang ini satu dibawah Sangaji Maba, tambahnya.

Soa Laiph dan Soa Sangaji adalah dua desa yang lebih dikenal dengan Mabapura. Dengan penduduk hampir 400 KK pada dua desa ini, sektor pertanian dan perikanan memegang peran penting dalam meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pada awalnya. Pulau Pakal dan Mabuli yang tepat berada di depan kampung menjadi salah satu pusat penangkapan ikan Ngafi (jenis teri halus). Menurut Om Yunus, Ngafi dari Mabapura tak kalah bersaing dengan ngafi dari Waijoi atau dari teluk Kao. Masyarakat cukup hanya menggunakan jaring tarik itu sudah bisa membawa pulang Ngafi untuk dijual dan dikonsumsi sendiri, tak perlu untuk membeli.

Hutan dan Laut Mabapura

Potensi laut yang berlimpah ini akhirnya membawa nelayan-nelayan asal Sanger datang ke Pulau Pakal. Alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan sanger pun lebih maju. Bangang yang digunakan jauh lebih besar sehingga hasil tangkap pun lebih banyak. Orang Mabapura dan Nelayan Sanger ada dalam satu siklus yang saling menguntungkan. Banyak orang Maba juga yang ikut bekerja bersama nelayan Sanger khususnya untuk yang tidak memiliki perahu dan bagang. Wilayah tangkap Bagang dengan ukuran besar biasanya berada lebih jauh dari pulau sedangkan yang berukuran lebih kecil lebih dekat pulau. Budaya Basilolola ke Mabapura tetap menjadi kebiasaan bagi setiap nelayan luar yang ingin mengadu nasibnya disekitar pulau Pakal. Selain itu, dari hasil tangkapan mereka akan memberikan Ngasi kepada pemerintah desa setempat. Hasil laut di Mabapura menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat.

Kalau dalam satu bulan itu, Bangang bisa tangkap Ngafi bisa sampe 3 – 5 ton. Tarada orang yang beli. Kalau mau makan, tinggal pigi ambe saja di Bagang atau tunggu orang turun dari lao. Kalau makan tar abis, orang biasa kase kering untuk jadi Ngafi kering, Tutur Om Yunus menceritakan kondisi awal di Mabapura.

Selain laut, hasil di darat khususnya hutan berkontribusi pula untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan tidak hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi semata namun lebih dari itu. Ada makna spiritual tentang hutan itu sendiri. Damar, rotan dan kayu menjadi potensi hutan bagi masyarakat Mabapura. Pohon Damar yang tumbuh lebat di bagian timur hutan Mabapura sekaligus menjadi pembatas wilayah antara Mabapura dan Soa Gimalaha.

Kearifan lokal menjaga hutan telah dipraktekan oleh para tetua sejak ratusan tahun lalu. Salah satu budaya yang masih dipertahankan adalah memberi tanda pada saat akan membuka hutan untuk dijadikan kebun yang biasa dikenal dengan Tislow. Tislow adalah tanda yang dibuat pada kayu yang terdapat pada areal yang akan dijadikan kebun. Jika telah ada tanda itu, orang lain sudah tidak boleh membuka hutan di area itu karena sudah merupakan milik yang memberi tanda. Makna lain dari Tislow adalah meminta permisi [basilolola] kepada pemilik hutan supaya diberikan kemudahan dalam berusaha ditempat itu.

Wilayah yang telah dibuka tersebut kemudian diusahakan dengan menanam tanaman tahunan ataupun musiman. Kelapa dan Pala menjadi komoditas pertanian yang paling banyak diusahakan. Jika usaha tersebut telah berhasil dan pemiliknya bisa memanen hasilnya, ada ritual yang wajib dilakukan yakni Arwahan. Arwahan adalah bentuk ucapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang baik. Ritual ini bukan hanya dilakukan di darat namun juga di laut ketika hasil tangkapan melimpah.

Kepemilikan komunal wilayah berlaku hanya pada hutan di darat dan wilayah tangkap di laut. Model pengelolaannya belum terlalu jelas karena tak banyak orang tua yang tahu tentang aturan-aturan tersebut. Ada beberapa informasi yang didapat yakni model kepemilikan tanah marga [komunal marga] atau dikenal dengan Raki. Raki hanya berlaku hanya untuk marga tertentu yang wilayah tersebut merupakan hasil kerja para orang tua dari marga tersebut, misalnya jorame atau hutan tempat pengambilan damar, rotan atau bekas bukaan untuk pengambilan kayunya.

Model pengelolaan komunal juga terlihat pada hutan Sagu yang sebut disebut dusun raja. Secara adat, keturunan Laipo yang mendapat mandat untuk menjaga hutan sagu sebagai lumbung pangan bagi orang Maba. Siapapun yang membutuhkan makanan bisa mengusahakan sagu yang tumbuh pada dusun raja asalkan memberitahu kepada marga Laipo.

Kerusakan Dimulai

Kerusakan alam Mabapura ditandai ketika PT. Jayanti [1997] dan PT. Nusa Fatma [2003], perusahan kayu yang izinnya berada di Halmahera Timur secara sembunyi-sembunyi membabat hutan damar tepat dibelakang Mabapura. Hal ini menjadi awal kerusakan ekologi di Mabapura. Ratusan batang kayu damar diangkut ke lopong dan kemudian dbawa ke luar Halmahera. Ada beberapa informasi pula yang menyebutkan kalau kayu-kayu itu diangkut ke Jailolo di pabrik tripleks milik PT Jayanti, perusahannya keluarga Soeharto.

Kayu-kayu damar itu dari nenek moyang lai. Ratusan pohon, baru tumbuh rapat. Ada dia pe basar sampe 6 orang pulu. Kalau lama baru torang kasana, dia pe damar itu tinggi amper 2 meter bagitu, ungkap Om Yunus.

Setelah hutan habis, cerita tak berakhir. Di tahun 1997, PT. Antam yang memulai menambang di Pulau Gee, mulai melirik pulau Pakal dan pulau Mabuli. Tahun 2006, PT. Antam berhasil menguasai pulau Pakal dan Mabuli kemudian berlanjut ke wilayah hutan yang merupakan batas antara Mabapura dan Moronpon. Tanah dikupas hingga berwarna coklat kemerahan. Hutan digunduli, alat-alat berat lalu lalang dijalan-jalan tanah perusahan yang dulunya adalah kebun kelapa dan pala. Fenomena kapling tanah dan ganti rugi menjadi hal yang biasa bagi orang Mabapura. Hutan yang dulunya milik bersama berganti menjadi wilayah rebutan, dikapling dan selanjutnya menunggu ganti rugi dari perusahan. Tislow hilang makna ketika yang ditandai adalah hutan, bukan untuk dijadikan kebun tetapi untuk menunggu perusahan datang dan membayar.

Saat tambang sedang ramai beroperasi, tanjung dan sedikit teluk yang berada didepan Mabapura sangat ramai. Bukan lagi karena Bagang nelayan namun kapal-kapal besar pengangkut tanah nikel yang hilir mudik. Air laut di teluk berubah menjadi coklat karena sedimentasi ataupun tumpahan tanah dari kapal pengangkut.

Jika berdiri di jembatan Mabapura dan memandang ke arah laut, kita akan menyaksikan dua sisi pemandangan yang berbeda. Yang satu adalah indahnya pulau kecil didepan dan yang lainnya adalah warna tanah yang terkelupas di Tanjung Buli, Pulau Pakal dan Pulau Mabuli.

Saat penerapan UU Minerba yang baru, membuat banyak perusahan berhenti sementara untuk beroperasi. Tak seramai dulu lagi. Banyak karyawan lokal pun dirumahkan, tanpa pekerjaan baru yang bisa dikerjakan untuk mencukupi keluarganya. Untuk kembali menjadi nelayan sudah tak mampu lagi dilakukan, entah karena sudah tak mahir lagi atau karena segan untuk “turun kasta” ? Kebutuhan ikan harus dibeli dari orang Sanger yang masih setia bertahan di teluk Mabapura tersebut. Tak ada kata lain selain mendesak perusahan cepat kembali, Antam membangun pabrik dan kemudian mempekerjakan orang Mabapura.

Orang bilang doi su tamba susah ketika perusahan [tambang] tutup. Padahal sebenarnya torang masih punya Bagang deng Ngafi yang dulu berjaya sebelum tambang datang. Itupun kalau dorang masih mau mengaku sebagai orang Maba, demikian ungkap Pak Halim Kie [58 Tahun], Imam Masjid di desa Soa Laipoh.

Sampai hari ini, sudah ada 6 perusahan yang mengkapling pulau, tanah hingga laut milik orang Mabapura. Orang Mabapura semakin terdesak, ketika tak ada lagi tanah dan hutan pun semakin berkurang. Terkepung dalam rumah sendiri. Entah akan seperti apa Mabapura di 20 tahun kedepan. Mabapura, riwayatmu kini.

Sebarkan

Tinggalkan Balasan

Close Menu